Minggu, 06 Mei 2012

Biografi dan Riwayat Hidup Hassan Hanafi


BAB III
BIOGRAFI HASAN HANAFI.
(Oleh: Hilmi El Angga)
a.    Masa kanak-Kanak Dan Remaja.
Hasan Hanafi yang selanjutnya dipanggil Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan Professor filsafat terkemuka di Universitas Kairo Mesir (Saenong, 2002:69). Hanafi dilahirkan pada keluarga Bani Suwayf, di sebuah provinsi di Mesir, pada tanggal 13 Pebruari 1935, Hanafi tumbuh dan besar di kawasan Kairo Fathimi dekat tembok Benteng Salahuddin (Hanafi, 2003c;17). Dia mulai belajar al-Quran pada usia lima tahun di bawah bimbingan Syaikh Sayyid, tepatnya di jalan al-Benhawi, tetapi hanya berlangsung selama beberapa bulan (Wasid Dkk, 2011:23)
Hanafi kecil hidup saat Mesir dalam keadaan genting. Ketika itu, Perang Dunia II sedang meletus. Di Mesir, pertempuran tentara Inggris dangan Jerman sedang berkecamuk. Desing peluru dan dentuman peledak merupakan pendengaran sehari-hari. Hanafi mendengar peristiwa tersebut dari bungker-bungker persembunyian. Dia merasa sangat bangga dengan tentara Jerman yang menurut hemat masa kecilnya, tentara Jerman adalah tentara yang gagah berani. tentara Jerman adalah tentara yang baik dan akan membebaskan Mesir dari penjajah Inggris. Tentara Jerman tidak bermaksud menghancurkan Mesir, apa lagi menyakiti rakyatnya. Oleh karena itu, Hanafi kecil dan kawan-kawannya selalu bersorak-sorai setiap melihat pijaran peluru di langit yang berwarna kelam. Mereka merasa Inggrislah lawan mereka, sedangkan Jerman adalah kawan. Ketika itu, mereka belum tahu-menahu tentang Nazi (Hanafi, 2003c:7).
Ketika tentara Jerman harus menyerah pada sekutu, Hanafi kecil merasa sangat terpukul. Padahal dia dan kawan-kawannya sangat membanggakan kegagahan dan keberanian mereka. Rasa bangganya pada Jerman ternyata tidak hilang sampai ia dewasa. Hanafi begitu mengagumi sistem militer, kekuatan dan industri Jerman. Bahkan rasa kagum tersebut tidak luntur walaupun sudah bertahun-tahun duduk di bangku Universitas. Kekagumannya memuncak terutama pada spirit dan idealisme Jerman yang menyatukan antara spirit/ roh/ geist dan alam. Dia selalu aktif ikut kajian-kajian dan kursus bahasa Jerman. Bahkan ketika kuliah di Sorbonne Perancis, dia sempat tertarik pada salah seorang gadis berkebangsaan Jerman. Makalah pertama yang ia tulis ketika duduk di bangku kuliah berjudul “kesamaan antara spirit Arab dan spirit Jerman”. Menurut Hanafi, keduanya menyerukan idealisme, naturalisme, kekuatan, rasio, Negara dan sistem (2003c:8).
Semasa masih duduk di bangku sekolah dasar, Hanafi sangat antusias setiap ada pawai besar dari Kairo Fatimiah hingga alun-alun istana Abidin. Pawai ini biasanya diadakan setiap perayaan penobatan Raja. Hanafi pergi ke alaun-alun untuk menyanyikan mars bagi sang Raja. Bagi Hanafi, suara koor yang berkumandang di alun-alun begitu mempesona, walaupun pada waktu itu dia belum memahami arti kesetiaan pada Raja (2003c:8).
Ketika Hanafi masih sekolah SMP, dia mendaftar ke Asosiasi Pemuda Muslim sebagai sukarelawan perang. Tetapi pihak asosiasi malah menyuruhnya pergi ke batalion Ahmad Husain. Hanafi merasa heran dan mulai bisa merasakan bahwa kepentingan partai kadang jauh lebih diprioritaskan daripada kepentingan bangsa (2003c:9).
Sejak saat itu, Hanafi sangat antusias untuk menonton film-film dokumenter dan heroik. Dia jarang melewatkan berita-berita pahlawan yang berguguran. Dalam anggapannya, Aziz al-Masry adalah pahlawan nasional seperti Ahmad Abdul Azizi. Hanafi juga begitu tergugah dengan mars-mars pembebasan rakyat Palestina (2003c:9).
Ketika masih SMP, dia juga pernah ikut berdemonstrasi di sekolah Khalil Aga. Setelah itu, rombongannya bergerak dan bergabung dengan demonstran dari para mahasiswa. Menurut penuturannya, Hanafi memang sudah terbiasa berdemo sejak tahun 1948, ketika itu Hanafi masih duduk di bangku SD. Walaupun Hanafi belum mengerti persoalan Negara atau sekedar tujuan berdemo, hanya saja Hanafi merasa begitu bangga meneriakkan yel-yel “hidup mahasiswa dan buruh” (2003c:10)
Saat duduk di kelas IV SMA Khalil Aga, tepatnya pada tahun 1951, berkecamuk pertempuran sukarelawan di Terusan Suez. Hanafi bergabung dalam kelompok Ekspedisi. Para sukarelawan, baik dari kader Wafdian maupun Ikhwan berlatih menggunakan senjata di Akademi Teknik Militer Abbasea. Saat itu, Hanafi baru berusia enam belas tahun. Pada suatu hari, kontak senjata terjadi antara polisi dan tentara Inggris di daerah Ismailiah. Hanafi dan para sukarelawan mendengarkan pidato menteri dalam negeri, yang pada kesempatan itu, menteri dalam negeri menghimbau “sampai titik darah penghabisan dan muntahan peluru terakhir”. Himbauan menteri membuat semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat Islam maupun Kristen tersulut (2003c:12-13)
Hanafi merasa begitu sedih dan terpukul ketika terjadi insiden Kairo lautan api bulan Januari 1952. Para tentara turun jalan, kabinet Wafd pun mundur. Walaupun KKN merebak, tetap saja tidak ada reaksi yang berarti dari masyarakat. Pada suatu hari, ketika Hanafi sedang mengikuti orientasi mata pelajaran filsafat.  Tank-tank tentara turun ke jalan, membuat masyarakat bingung. Pada hari itu, tentara bergerak untuk mengambil alih pemerintahan dan mengkudeta Istana. Kudeta inilah yang memaksa Raja untuk hengkang dari istana. Tepatnya pada pukul 18.00 tanggal 26 juli  1952. Revolusi Juli inilah yang menjadi batu pijakan kesadaran nasionalisme Hasan Hanafi (Hanafi, 2003c:13-14)
Hanafi sudah banyak mendengar tentang Ikhwanul Muslimin sejak masih SMA (Lenczowski, 1992:298). Sosok Hasan Al-Banna yang dikenal sebagai “tentara di siang hari dan pendeta di malam hari” juga sudah terdengar di telinganya. Tetapi Hanafi baru bergabung dengan Ikhwanul Muslimin setelah Revolusi Mesir tahun 1952. Tokoh-tokoh ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Qadir Audah, Sa’id Ramadan, Alal Al-Fasi, Hasan Al-Asymawi, Abdul Hakim ‘Abidin, (2003c:20) maupun tokoh revolusioner Islam dan barat seperti Muhammad Iqbal (2003c;24), Edmund Husserl (2003c:32), Descartes (2003c:36). Inilah yang selanjutnya banyak memberi pengaruh pada cara berfikir Hanafi.
b.    Karir Intelektual Dan Akademik.
Hasan Hanafi adalah ilmuan yang menghabiskan sebagian besar umurnya hanya uuntuk belajar dan berkarya. Beliau menyumbangkan ide-ide brilian untuk revolusi umat Islam. Dari sekolah dasar sampai sarjana dia habiskan di Mesir. Barulah dia melanjutkan pendidikannya ke Perancis sampai mendapatkan gelar Doktor di Sorbone. Dia tinggal dan belajar di Perancis selama sepuluh tahun. Tetapi semangatnya untuk menyumbangkan pemikiran untuk Islam tidak pernah redup.
Hasan Hanafi mulai belajar Al-Quran sejak usia lima tahun. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di madrasah Sulaiman Gawiys selama lima tahun. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (Tarbiyatul Mu’allimi>n). Tetapi menjelang kenaikan kelas lima, dia transfer ke madrasah Al-Ailahdar.  Ia menamatkan sekolah menengahnya di madrasah Tsanawiyah Khalil Agha. Dengan melewati empat tahun pada jurusan Kebudayaan dan satu tahun di jurusan Pendidikan (Wasid, Dkk. 2011:23-24). Di sekolah inilah Hanafi mulai berkenalan dengan pemikiran dan aktivitas Ikhwanul Muslimin. Pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran dan menginspirasi tindakannya. Dia baru masuk menjadi anggota Ikhwanul Muslimin pada tahun 1952, dan  tetap eksis dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, walaupun telah duduk di bangku Universitas. Sampai pada akhirnya gerakan ini berbenturan dengan pemerintah Mesir sehingga menjadi gerakan bawah tanah dan terlarang (Saenong. 2002:70).
Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, dia masuk ke Universitas Kairo Mesir. Kemudian mendapatkan gelar Sarjana dalam bidang filsafat pada tahun 1956 (Saenong, 2002:69).
Sejak kuliah di Universitas Kairo, Hanafi sudah sering mengalami pergolakan pikiran. Dia sering membaca karya-karyanya Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Hasan An-Nadawi, Syekh Muhammad Al-Gazali, dan pemikir-pemikir besar Islam lainnya. Dari sinilah Hanafi mulai tergugah dan dapat merasakan semangat kebangkitan Islam. Dengan membaca pemikiran dari tokoh-tokoh pergerakan Islam ini, Hanafi mulai memahami makna dari keberadaan diri, hidup, realitas, tanah air, masa depan dan apa-apa yang ia lakukan (Hanafi, 2003:22).
Ketika mengikuti kuliah tentang Akal Sepuluh, Akal Fa’al dan akal Mutafa’il, zat dan sifat, kosmologi Ibnu Sina. Hasan Hanafi merasa dirinya asing terhadap materi warisan Islam klasik ini. Ini terjadi karena pemikiran Hanafi lebih tertarik pada model kaum modernis. Dia mulai mencari isu-isu Islam di kampus kemudian menjauhi filsafat dan ilmu Kalam, karena dalam anggapannya saat itu, ilmu-ilmu itu hanya seputar teori serta tidak menyentuh keadaan real dalam kehidupan praktis  (2003c:22).
Pada tahun ketiga, Hanafi termasuk dalam mahasiswa yang mendapat predikat summa cum laude. Dia mulai memasukkan pendapat-pendapat pribadi dalam makalah-makalah ilmiahnya. Hal inilah yang Hanafi lakukan dalam menulis sebuah makalah yang mendapat nilai penuh tentang “Teori Pengetahuan Dan Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali”. Dalam makalah ini, Hanafi mengkritisi sikap para sufi dengan gerakan pengucilan diri dari kehidupan sosial. Pengucilan diri ini adalah reaksi pasif atas merebaknya hedonisme dan kebobrokan sosial pada masa-masa awal dinasti Umawiyyah.  Yang menurut Hanafi, pengucilan diri dari realitas sosial ini harus segera diakhiri, kemudian secepatnya mengambil alih kendali dunia dan menyelamatkan diri dari kehancuran (2003c:23).
Dalam pengakuannya, Hanafi baru bisa merasakan cita rasa filosofis Al-Quran, urgensi dunia intuitif, panca indera serta pentingnya perjuangan yang konsisten ketika membaca Al-Quran di masjid Umar Makam. Ketika itu, Hanafi sedang mendapat masalah psikologis karena Ikhwanul Muslimin dalam tekanan, krisis dunia kampus serta kegagalannya mencapai predikat summa cum laude (2003c:27).
Pada masa-masa akhir studinya di Universitas Kairo Mesir, Hanafi merasa tidak mendapatkan apa-apa dari Universitas. Yang ada hanya sikap reaksioner atau krisis studi-studi keislaman. Dia merasakan perbedaan, antara apa yang didapatkannya dari kampus dengan apa yang dibacanya dari buku (http://www.answers.com/topic/hassan-hanafi). Dia lebih banyak menghabiskan buku-buku karya Iqbal dan Jamaluddin Al-Afghani. Dia merasa tidak ada waktu lagi untuk main musik. Dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku karya Muhammad Iqbal Reconstruction of Islamic Thought. Dia merasa harus secepatnya meninggalkan Mesir. Rasa cinta terhadap pengetahuan memenuhi sanubarinya. Oleh karena itu, Prancis dianggap tempat yang paling tepat untuk melampiaskan kehausan intelektualnya, terutama dalam studi pemikiran Islam (2003c:29).
Gagasan-gagasan Hanafi tentang metodologi Islam, seni dan ummat Islam mendapat pengakuan Internasional, baik dari segi orisinlitas maupun kritik-kritiknya terhadap Barat. Gagasan-gagasan ini lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, karena Sayyid Qutb meninggalkan pengaruh yang sangat besar kepada diri Hanafi. Bukan hanya ketika ia masih kuliah di Mesir sebelum ke Prancis. Bahkan setelah dewasa pun, Hanafi masih tetap terpesona dengan gagasan-gagasan Sayyid Qutb. Hal ini terbukti dari pernyataannya “Jikalau Sayyid Qutb masih hidup waktu itu, saya pasti akan menjadi murid terbaiknya, dan jika dakwah Ihhwanul Muslimin berlanjut, niscaya saya akan menjadi pemikir dan konseptornya” (2003:28-29).
Hanafi akhirnya meninggalkan Mesir dan berangkat ke Prancis kemudian masuk di Universitas Sorbone ketika berusia dua puluh satu tahun (Saenong, 2002:70). Dia berangkat dari Mesir tanggal 11 Oktober 1956 dan tiba di Marseille pada 17 Oktober 1956. Dalam perjalanannya, Hanafi tidak membawa apa-apa. Kecuali hanya sedikit makanan, susu dan sebungkus roti kering yang dia dapatkan dari yayasan sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membagikan sembako di sekolah-sekolah. Uang saku yang dia bawa hanya 10 pound Mesir (Hanafi, 2003c:28).
Dua tahun awal di Prancis, Hanafi membagi waktunya menjadi dua. Sebagiannya dihabiskan untuk mengkaji filsafat dan sebagiannya lagi untuk belajar musik dan seni. Hobinya pada musik tertanam sejak kecil. Keberadaannya di Prancis tidak dia sia-siakan. Di Prancis, dia masuk Akademi Musik. Pagi hari Hanafi harus masuk Institut Musik, siang harinya  masuk kuliah dan malam harinya dipergunakan untuk membaca atau bermain musik. Kegiatan ini terpaksa ia akhiri karena kelumpuhan yang diakibatkan oleh kekurangan gizi serta kegiatan yang terlalu padat. Kelumpuhan ini juga yang memaksa Hanafi harus dirawat di  rumah sakit. Ketika dalam perawatan, dokter menyarankan Hanafi untuk mengurangi aktivitasnya. Ini artinya dia harus memilih salah satu dari kesibukannya dan harus meninggalkan yang lain. Ini adalah pilihan yang berat bagi Hanafi, antara memilih musik sebagai estetika yang minus pikir atau filsafat yang minus estetika. Hanafi kemudian memilih filsafat. Dia baru yakin dengan pilihannya beberapa saat setelah Hanafi menemukan perpaduan antara filsafat dan romantisme Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegaad dan Henri Bergson (2003c:48).
Hanafi sangat antusias dalam mempelajari filsafat dari awal hingga akhir, khususnya pada tokoh-tokoh penolak seperti Spinoza dan Kierkegaard. Dia kemudian menemukan genealogi filsafat setelah membaca pemikiran filsafat dari mazhab Eropa (2003c:44).
Ketika belajar di Prancis, Hanafi banyak bersentuhan dengan berbagai pemikiran dan pendirian metodologis (Saenong, 2011:72). Karena sentuhan berbagai pemikiran ini, akhirnya Hanafi berusaha untuk mereformulasikan Islam sebagai metode yang universal dan komprehensif dalam kehidupan individual maupun masyarakat. Di sinilah awal mula kesadaran filosofis Hanafi. Ketika itu, dia baru mulai menulis proposal disertasinya. Hanafi mengusulkan pemikirannya di atas, tetapi promotornya menolak proposal Hanafi. Karena menurut promotornya, pembahasan Hanafi kurang fokus dan masih terlalu umum. Seharusnya Hanafi memfokuskan pada tokoh sejarah tertentu, mazhab fiqh atau sekte-sekte tertentu dalam teologi Islam (Hanafi, 2003c:32).
Sepuluh tahun berjalan (1956-1966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Sorbone Prancis (Saenong, 2002:69), dalam meraih gelar Doktoral ini, Hanafi menulis disertasi setebal Sembilan ratus halaman “Essai sur la method d’Exegese”, tentang Ushul Fiqh. Pada tahun 1961, disertasi ini mendapat penghargaan karya ilmiah terbaik di Mesir. Setelah meraih gelar Doktoralnya, Hanafi kembali ke Tanah Airnya. Kemudian menjadi dosen Filsafat Kristen di almamaternya (http://www.slideshare.net/ChionkPemimpin/otentisitas-wahyu-tuhan-dalam-hermeneutika-hasan-hanafi). Dia menjadi staf pengajar pada fakultas sastra Universitas Kairo Mesir sampai tahun 1971 (Wasid. Dkk, 2011:23).
Hanafi mendapatkan gelar Guru Besar Luar Biasa (Visiting Professor) dari beberapa perguruan tinggi. Pencapaian ini Hanafi dapatkan karena reputasinya sebagai pemikir Islam terkemuka. Dia pernah menjadi Visiting Professor di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1978), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985). Pada tahun 1985-1987 dia menjabat sebagai penasehat pengajaran di Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo Jepang (Saenong, 2002:70).
Pada bulan September 1971-1975, Hanafi meninggalkan Mesir untuk menjadi dosen tamu di Amerika Serikat. Di sini, dia mulai akrab dengan ide-ide agama revolusioner. Karena selama ini jalan pikiran Hanafi sudah mengarah ke sana. Tidak heran jika setelah di Amerika Serikat, Hanafi langsung bergelut membaca “Teologi Revolusi, Teologi Pembebasan, Teologi Progresif, Teologi Sekuler, Teologi Politik, Teologi Kematian Tuhan, Teologi   Penderitaan dan lain-lain. Beberapa literatur ini memang pernah dia baca sebelumnya ketika menjadi dosen tamu di Belgia (1970). Dengan menghabiskan seluruh karya Camilio Tores, dia kemudian menulis sebuah kajian bejudul “Camilio Torres: Sosok  Pendeta Revolusioner”. Dalam karya ini, Hanafi menganalisis karya Torres kemudian menegaskan revolusi sebagai perintah Yesus, meletakkan dasar-dasar ilmu sosiologi nasional, analisis kelas, perencanaan, anarkisme, perubahan sosial budaya, kesadaran kelas, agama dan revolusi, serta persatuan kekuatan revolusioner (Hanafi, 2003c:64-66).
Pada tahun 1982-1984 Hasan Hanafi meninggalkan Mesir untuk menjadi dosen di Maroko. Ini adalah kali kedua Hanafi menginjakkan kakinya di Maroko. Pertama kali dia ke Maroko sepuluh tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1972. Ketika itu, Hanafi datang sebagai pembicara dalam sebuah seminar yang bertema Nahnu Wa At-Tanwi>r (Kita dan Pencerahan). Seminar ini diadakan oleh Lembaga Filsafat Maroko. Hanafi merasakan Maroko bagaikan di kampung halamannya. Selain karena Hanafi masih berdarah Maroko, juga karena suasana akademik di Negara itu sangat kondusif. Filsafat dan pemikiran menjadi ciri khas mahasiswa. Bahkan, sejak masih di sekolah menengah, para siswa sudah diajarkan filsafat, sudah memiliki penguasaan sinergi antara ilmu, bahasa dan budaya, sehingga ketika masuk universitas mereka sudah siap terjun ke politik praktis (2003c:83-85).
Pada tanggal 30 Juni 1984 Hanafi di deportasi dari Maroko. Deportasi ini dijatuhkan pemerintah Maroko kepada Hanafi karena pernyataannya ketika menjadi pembicara dalam sebuah Studium General bertajuk “Sistem Pemerintahan Dalam Islam” yang dilaksanakan oleh Hizb Asy-Syu>ra Wa Al-Istiqla>l (Partai Permusyawaratan dan Kemerdekaan), sebuah partai oposisi terkemuka di Maroko. Pada kesempatan itu, Hanafi mengatakan “Imamah merupakan akad, bay’ah, dan pilihan. Saya tegaskan juga bahwa ketaatan pada makhluk untuk bermaksiat itu tidak boleh. Seorang penguasa adalah orang yang paling terakhir makan dan minum, orang yang paling sederhana pakaian dan tempat tinggalnya. Dalam Islam, tidak boleh mencium tangan, pundak atau kaki penguasa” (2003c:87). Sebenarnya kalau Hanafi mau untuk sedikit mengalah dan meminta maaf, maka pemerintah akan membebaskannya. Tetapi sebagai seorang intelektual dan ulama’ ummat, dia tidak mau menarik kata-kata yang dia yakini sebagai kebenaran tersebut. Hanafi mengatakan:
Saya bukanlah manusia semi-intelektual dan semi-warga negara. Saya tidak pernah melakukan penjajahan, dan itulah yang membedakan di antara kita.  Tanah air sebenarnya membentang dari teluk hingga laut Tengah, dari ujung barat hingga ujung timur. Sebagai seorang intelektual umat, dan salah seorang ulamanya, saya menentang segala bentuk suap dalam kementrian di pusat (2003c:88).

Pada bulan Oktober 1984 Hanafi mendapat undangan menjadi dosen tamu dari Tokyo Jepang, Hanafi dan keluarga baru bisa berangkat pada akhir Agustus 1984, dia harus menunda keberangkatannya karena ujian di Maroko diadakan pada bulan Juni dan keinginannya untuk bisa pulang ke Mesir pada musim panas. Ini adalah kedatangannya di Jepang untuk kali kedua. Sebelumnya dia pernah ke negeri Sakura pada bulan Desember 1982 hingga awal Januari 1983. Pada kesempatan pertama ini, dia datang untuk menghadiri undangan Seminar Internasional di Universitas Tsukuba. Dalam kesempatan ini, dia berkapasitas sebagai pembicara dalam diskusi tentang krisis nilai. Hanafi didaulat menjadi pembicara dari perspektif Islam dari Universitas PBB. Hanafi menyampaikan makalah dengan judul; Value Crisis and Islamic Respons (Krisis Nilai dan Respons Islam) (Hanafi, 2003c:90-91).
Keberadaannya di Jepang dia pergunakan sebaik mungkin untuk mengenal Timur, agar pengetahuannya tidak timpang hanya sebatas mengenal barat. Dia terobsesi untuk menyeimbangkan kesadarannya akan Dunia Barat dan Timur. (2003c:91). Hanafi tinggal di Jepang hanya satu semester, dan setelah itu, dia kembali ke dunia Arab, Setelah menolak tawaran menjadi dosen di Universitas PBB (2003c:93).
Sepulang dari Jepang pada musim semi 1984, Hanafi terbang ke Uni Emirat Arab sebagai dosen tamu di Universitas Uni Emirat Arab. Hanafi tinggal di negara ini selama satu semester (2003c:93). Selanjutnya dia di tarik lagi ke Jepang sebagai konselor bidang keilmuan pada Universitas PBB 1985-1987. Di sini Hanafi sering  berinteraksi dengan ilmuan dari berbagai Negara. Berlatih menggunakan istilah-istilah humaniora dan tahu tentang barometer kekuatan dunia. Dia juga sempat mengetuai proyek “Pandangan Agama-Agama Dan Sekte-Sekte Etik Tentang  Masyarakat Ideal”. Hal inilah yang kemudian dia terapkan pada Islam, Kristen, Buddisme dan Hindu (2003c:95).
Sepulangnya dari Jepang, Hanafi berkonsentrasi pada pembentuk- an para pemikir dan peneliti muda. Dengan pertimbangan proyek At-tura>s Wa At-Tajdi>d akan jauh lebih efektif dan efisien jika dikerjakan secara kelompok daripada sendiri. Dia juga fokus untuk mendirikan “Lembaga Filsafat Mesir” dan “Pusat Studi Filsafat”. Ini dimaksudkan untuk melahirkan peneliti-peneliti yang kapabel dan mempunyai visi murni untuk penelitian ilmiah (2003c:102).
C. Karya-Karya Hasan Hanafi
Produktivitas Hanan Hanafi dalam melahirkan karya sangat besar, sehingga dia dapat dikategorikan ke dalam Ilmuan Islam kontemporer yang paling produktif. Hampir semua karya-karyanya ditujukan untuk pembaharuan tradisi dan kebangkitan Islam (Wasid Dkk, 2011:23).
Di antara karya-karya Hanafi yang paling membuatnya popular adalah Jurnal “Al-Yasa>r Al-Isla>mi>” (Ridwan, 1998:44) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kiri Islam”. Kiri Islam terbit setelah kemenangan Revolusi Islam Iran 1979 (Shimogaki, 2011:9). Jurnal ini hanya sempat terbit pada bulan Januari 1981 di Kairo Mesir, merupakan salah satu karya fenomenal Hasan Hanafi. Melalui jurnal ini, Hanafi menghembuskan ide “Kiri Islam” (2011:v). Karya ini lebih mirip manifesto partai yang gereget intelektual dan aktivisme-nya  sangat mungkin membangun gerakan-gerakan yang pro terhadap demokrasi di kalangan aktivis Indonesia (Hanafi, 2003b:v). Kiri Islam menyerukan untuk melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan, keadilan sosial, persatuan kaum muslimin ke  dalam blok Islam. Kiri Islam adalah kelanjutan dari Al-Urwah al-Wustqa dan Al-Mana>r. Jurnal ini muncul di tengah kekosongan setelah krisis dan distorsi yang dialami oleh agenda Al-Afgani (Shimogaki, 2011:109).
Di antara karyanya yang lain adalah At-Tura>s Wa At-Tajdi<d “Warisan Klasik dan Pembaharuan”. Karya ini terinspirasi dari salah seorang profesor yang baru datang dari Prancis yang memperkenalkannya dengan filsafat idealisme Jerman, terutama Fichte yang berisi filsafat perlawanan, gagasan Ego, konsep “saling sugesti” (alternate suggestion) antara obyek dan subyek, serta konsep intentional (keterarahan) Edmund Husserl (Hanafi, 2003:c).
Ketika menjadi dosen Filsafat Kristen 1966-1967, Hanafi menulis sebuah buku berjudul Nama>dzi>j Min Al-Falsafah Al-Masyi<hiyah Fi Al-Ashr Al-Wasith: Al-Mu’allim Li Aghustin, Al-Imam Bahits ‘An Al-‘Aql La Tasli>m, Al-Wuju>d Wa Al-Mahiyah Li Yuma Al-Akwi>ni (Beberapa Contoh Filsafat Kristen Abad Pertengahan: Ajaran Agustine, Kepercayaan Butuh Penalaran, Bukan Penerimaan: Bentuk Dan Esensi Menurut Thomas Aquinas). Buku ini dia tulis dalam mengatasi kesulitan dalam memperoleh referensi mata kuliah Filsafat Kristen (Saenong, 2002:73).
Untuk merombak ilmu klasik dalam Islam, terutama ilmu kalam, serta membela kaum muslimin yang terbelakang, kemudian mengajak mereka untuk merenungkan bagaimana menyikapai tradisi lama, dia menulis Min Al-Akidah Ila Al-Sawrah; Al-Muqaddimah Al-Naz}ariyah diterjemahkan menjadi “Dari Akidah ke Revolusi”. Dalam karya ini, Hanafi menempatkan pemikirannya di hadapan warisan pemikiran klasik. Di sini, dia banyak merekonstruksi bangunan akidah klasik, di mana pemikiran akidah klasik  meletakkan dasar teologi atas nama Tuhan. Sedangkan Hanafi melakukannya atas nama ummat dan  tanah mereka yang dirampas. Dalam buku ini, dia memberikan pembelaan terhadap hasil ijtihad ummat dengan landasan persamaan, di mana pembelaan seperti ini tidak diberikan oleh para mutakallimu>n klasik yang hanya sibuk membela aliran Akidah tertentu. Hanafi ingin menjelaskan posisi umat yang tertindas, di mana mutakallimu>n klasik hanya memfokuskan pemikiran mereka untuk menjelaskan sejarah Tuhan dan membela posisi penguasa. Pada intinya, dalam buku ini, Hanafi menawarkan konsep akidah baru, yang dia klaim sebagai ilmu akidah yang populis dan merubah warisan masa lalu yang elitis (Hanafi, 2003a:388).
Dalam membedah dan membuka topengketidak jujuran Barat serta sebagai jawaban atas Orientalisme, Hassan Hanafi menulis Muqaddimah Fi> ‘Ilm Al-Istigra>b. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama”. Dari karyanya ini Hanafi berhasil mengungkapkan konspirasi rasial dan ideologis bertameng akademis yang menempatkan Timur sebagai bangsa yang terbelakang dan tidak berperadaban. Sebaliknya, barat adalah bangsa yang superior, maju, berperadaban dan jauh lebih berhak memimpin dunia (2001:ix-x). Hasan Hanafi mengatakan bahwa “Oksidentalisme sesungguhnya bukan lawan Orientalisme, melainkan hubungan dialektik yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur” (2000;xix-xx).
Dalam menceritakan perkembangan dan pergolakan pemikirannya, Hassan Hanafi menulis sebuah buku yang memuat autobiografinya. Buku ini berjudul Al-Ushu>liyah al-Isla>miyah yang dalam fersi terjemahan diberi judul “Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam” (2003c:v). Dalam biografinya, Hanafi menlis pengalaman pribadinya dalam menyikapi rezim revolusi sebagai bagian dari fundamntalisme Islam. Di sini, dia menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya? Ikhwaniskah, Komuniskah, atau Ikhwanis-Komuniskah? (Hanafi, 2003c:4).
Dalam menunjukkan semangat penjelajahan dalam membangun pemahaman baru atas tradisi Islam, Hanafi menulis karya yang berjudul Humu>m Al-Fikr Al-Watan; At-Tura>ts Wa Al-Asr Wa Al-Handasah yang dalam fersi Indonesianya diberi judul “Oposisi Pasca Tradisi”. Dalam buku ini, Hanafi menginstruksikan bahaya manipulasi tradisi untuk kepentingan hegemoni kekuasaan, sekaligus menawarkan solusi yang menjadi jalan keluar dari masalah ini dengan mempersenjatai kaum muda dengan analisis yang tajam mengenai  The Other “Yang Lain” (Hanafi, 2003b:vii).
Karyanya yang berjudul Dira>sat Isla>miyah terbagi menjadi lima bab yang dalam fersi Indonesianya diterbitkan menjadi tiga jilid. Buku ini diberi judul “Islamologi I; Dari Teologi Statis ke Anarkis (Dira>sat Isla>miyah, Bab I-II), Islamologi II; Dari Rasionalisme ke Empirisme (Dira>sat Isla>miyah, Bab III-IV), dan Islamologi III; Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme (Dira>sat Isla>miyah, Bab V)”. Dalam Islamologi I, Hanafi menunjukkan bahwa semangat revolusioner, pembebasan, dan pemerdekaan lahir dari rahim ideologi anarkisme. Pada Islamologi II, Hanafi memfokuskan kajiannya pada wilayah filsafat dan tasawuf. Dia mengatakan bahwa generasi Islam kontemporer harus menggerakkan tradisi secara mutualistik. Karena menurutnya, tradisi adalah elemen kritis yang menemukan titik pijakan di setiap generasi. Supaya kita mendapatkan asupan semangat pembumian dan nasionalisme, karena tradisi memiliki sifat dinamis interpretatif. Sedangkan dalam Islamologi III, Hanafi menunjukkan semangat pergerakan, dimana sebelumnya, pemikiran umat Islam didominasi oleh peradaban yang hanya terpusat pada Tuhan (teosentrisme) harus beralih menuju peradaban yang berpusat pada manusia (Antroposentrisme) (Hanafi, 2004,vi).
Selain karya di atas, masih banyak lagi karya Hanafi. Diantaranya, tiga buah karya kesarjanaan nya di Sorbone:  Les Metodes D’exegese, Essai Sur La Science Des Fondaments De La Comprehension, Ilm Ushul Al-Fiqh (1965), L’exegese De La Phenomenologie L’etat Actual De La Method Phenomenologique Et Son Application Un Ph’enomene Religiux (1965), dan La Phenomenologie D L’exegese: Essai D’une Hermeneutique Existentielle A Parti Du Nouvea Testanment (1996). Ketiga karya ini ditulis dalam bahasa Prancis. Di antara karyanya yang lain adalah: Religious Dialog And Revolution (1977), Qad}a>ya Mu’a>shirah Fi< Fikrina> Al-Mu’a>shir dua jilid (1983), Dira>sat Falsafiah (1988), Al-Di<n Wa Al-Tsaurah Fi Mis}hra 1956-1981 delapan jilid (1989), Hiwa>r Al-Masyriq Wa Al-Magrhrib (1990), Masyriq; Islam In The Modern World. Dua jilid (1995), Humu>m Al-Fikr Wa Al-Wathan dua jilid (1997), Jala>luddi>n Al-Afga>ni (1997), Hiwa>r Al-Ajya>l (1998). Selain kary-karya di atas, Hanafi juga banyak menulis karya berbentuk terjemahan dan suntingan. Di antaranya adalah: Muhammad Abu Husain Al-Bahri: Al-Mu’tamad Fi ‘Ilm Ushu>l Fiqh dua jilid (1965), Al-Huku>mah Al-Isla>miyah Li Al-Ima>m Al-Khomeini (1980), Jiha>d An-Nafs Aw Jiha>d Al-Akbar Li Al-Ima>m Al-Khomeini (1980). Adapun dari wilayah filsafat barat Hanafi menulis: Namu>dzzij Min Al-Falsafah Al-Mashihiyah Fi> Al-Ashr Al-Wasith: Al-Mu’allim Li> Agustin, Al-Ima>m Bahits’an Al-Aql La> Tasli>m, Al-Wuju>d Wa Al-Mahiyah Li> Tuma Al-Akwini (1968) Spinoza; Risa>lah Fi> Al-Lahu>t Wa As-Asiya>sah (1973), Lessing; Tarbiah Fi> Al-Jins Al-Basyari Wa A’mal Ukhra (1977), Jean-Paul Satre; Ta’ali Al-Ana Al-Mauju>d  (1978), (Saenong, 80-83).
Jika kita melihat karya-karyanya yang memiliki kualitas yang tidak bisa diragukan serta mempunyai kuantitas yang begitu besar, terasa sekali bagaimana keinginannya untuk mensosialisasikan gagasannya tentang “Tradisi dan Modernitas”.

Daftar Pustaka Sementara:
Nasution, Harun. 2007. Teologi Islam Aliran- Aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Bakker, Anton. Dan Charis, Zubair Achmad. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Pusraka Filsafat.
Zarkasyi, Imam. 1994. Usuluddin (‘Aqa’id). Gontor Ponorogo: Trimurti Press.
Hanafi, Hasan. 2003a. Dari Akidah ke Revolusi sikap kita terhadap tradisi lama. Jakarta: Paramadina.
Hanafi, Hasan. 2000. Oksidentalisme Sikap Kita Terhaadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina.
Al Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim. 2003. Al-Milal wa Al-Mihal “Aliran-aliran Teologi Dalam sejarah Ummat Islam”. Surabaya: Bina Ilmu.
Simogakhi, Kazuo. 2011. Kiri Islam, Antara Modernisasi dan Posmomdernisasi Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta: LKis.
Rusli, Muhammad. 2010. Pedoman Praktis Pembuatan Proposal Dan Laporan Penelitian Lapangan (pendekatan kuantitatif, kualitatif dan pustaka). Prenduan: LP3M..
Manaf, Abdurrahman. 1942. Kitabussaadah fittauhidil ilahi. Jakarta: Maktabah sa’adiah putra.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Bandung: Rosdakarya.
Mustafa. 2010. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Thahar, Asmuni. 2003. Pemikiran Akidah Humanitarian Hasan Hanafi. Sekripsi di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.



1 komentar:

  1. Casino site - Lucky Club
    Casino site. Live Casino is available and operated by Lottoland. They operate under the Lotto luckyclub Group Limited, which have the following license  Rating: 3.5 · ‎Review by Lucky Club

    BalasHapus