BAB III
BIOGRAFI
HASAN HANAFI.
(Oleh: Hilmi El Angga)
(Oleh: Hilmi El Angga)
a.
Masa
kanak-Kanak Dan Remaja.
Hasan Hanafi
yang selanjutnya dipanggil Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan Professor
filsafat terkemuka di Universitas Kairo Mesir (Saenong, 2002:69). Hanafi dilahirkan
pada keluarga Bani Suwayf, di sebuah provinsi di Mesir, pada tanggal 13
Pebruari 1935, Hanafi
tumbuh dan besar di kawasan Kairo Fathimi dekat tembok Benteng Salahuddin (Hanafi,
2003c;17). Dia mulai belajar al-Quran pada usia lima tahun di bawah bimbingan
Syaikh Sayyid, tepatnya di jalan al-Benhawi, tetapi hanya berlangsung selama
beberapa bulan (Wasid Dkk, 2011:23)
Hanafi kecil hidup saat Mesir
dalam keadaan genting. Ketika itu, Perang Dunia II sedang meletus. Di Mesir,
pertempuran tentara Inggris dangan Jerman sedang berkecamuk. Desing peluru dan
dentuman peledak merupakan pendengaran sehari-hari. Hanafi mendengar peristiwa
tersebut dari bungker-bungker persembunyian. Dia merasa sangat bangga dengan
tentara Jerman yang menurut hemat masa kecilnya, tentara Jerman adalah tentara
yang gagah berani. tentara Jerman adalah tentara yang baik dan akan membebaskan
Mesir dari penjajah Inggris. Tentara Jerman tidak bermaksud menghancurkan Mesir,
apa lagi menyakiti rakyatnya. Oleh karena itu, Hanafi kecil dan kawan-kawannya
selalu bersorak-sorai setiap melihat pijaran peluru di langit yang berwarna
kelam. Mereka merasa Inggrislah lawan mereka, sedangkan Jerman adalah kawan.
Ketika itu, mereka belum tahu-menahu tentang Nazi (Hanafi, 2003c:7).
Ketika tentara Jerman harus
menyerah pada sekutu, Hanafi kecil merasa sangat terpukul. Padahal dia dan
kawan-kawannya sangat membanggakan kegagahan dan keberanian mereka. Rasa
bangganya pada Jerman ternyata tidak hilang sampai ia dewasa. Hanafi begitu
mengagumi sistem militer, kekuatan dan industri Jerman. Bahkan rasa kagum
tersebut tidak luntur walaupun sudah bertahun-tahun duduk di bangku Universitas.
Kekagumannya memuncak terutama pada spirit dan idealisme Jerman yang menyatukan
antara spirit/ roh/ geist dan alam. Dia selalu aktif ikut kajian-kajian
dan kursus bahasa Jerman. Bahkan ketika kuliah di Sorbonne Perancis, dia
sempat tertarik pada salah seorang gadis berkebangsaan Jerman. Makalah pertama
yang ia tulis ketika duduk di bangku kuliah berjudul “kesamaan antara spirit
Arab dan spirit Jerman”. Menurut Hanafi, keduanya menyerukan idealisme,
naturalisme, kekuatan, rasio, Negara dan sistem (2003c:8).
Semasa masih duduk di bangku
sekolah dasar, Hanafi sangat antusias setiap ada pawai besar dari Kairo Fatimiah
hingga alun-alun istana Abidin. Pawai ini biasanya diadakan setiap perayaan
penobatan Raja. Hanafi pergi ke alaun-alun untuk menyanyikan mars bagi sang Raja.
Bagi Hanafi, suara koor yang berkumandang di alun-alun begitu mempesona,
walaupun pada waktu itu dia belum memahami arti kesetiaan pada Raja (2003c:8).
Ketika Hanafi masih sekolah
SMP, dia mendaftar ke Asosiasi Pemuda Muslim sebagai sukarelawan perang. Tetapi
pihak asosiasi malah menyuruhnya pergi ke batalion Ahmad Husain. Hanafi merasa
heran dan mulai bisa merasakan bahwa kepentingan partai kadang jauh lebih
diprioritaskan daripada kepentingan bangsa (2003c:9).
Sejak saat itu, Hanafi sangat
antusias untuk menonton film-film dokumenter dan heroik. Dia jarang melewatkan
berita-berita pahlawan yang berguguran. Dalam anggapannya, Aziz al-Masry adalah
pahlawan nasional seperti Ahmad Abdul Azizi. Hanafi juga begitu tergugah dengan
mars-mars pembebasan rakyat Palestina (2003c:9).
Ketika masih SMP, dia juga
pernah ikut berdemonstrasi di sekolah Khalil Aga. Setelah itu, rombongannya bergerak
dan bergabung dengan demonstran dari para mahasiswa. Menurut penuturannya, Hanafi
memang sudah terbiasa berdemo sejak tahun 1948, ketika itu Hanafi masih duduk
di bangku SD. Walaupun Hanafi belum mengerti persoalan Negara atau sekedar
tujuan berdemo, hanya saja Hanafi merasa begitu bangga meneriakkan yel-yel
“hidup mahasiswa dan buruh” (2003c:10)
Saat duduk di kelas IV SMA
Khalil Aga, tepatnya pada tahun 1951, berkecamuk pertempuran sukarelawan di
Terusan Suez. Hanafi bergabung dalam kelompok Ekspedisi. Para sukarelawan, baik
dari kader Wafdian maupun Ikhwan berlatih menggunakan senjata di
Akademi Teknik Militer Abbasea. Saat itu, Hanafi baru berusia enam belas tahun.
Pada suatu hari, kontak senjata terjadi antara polisi dan tentara Inggris di
daerah Ismailiah. Hanafi dan para sukarelawan mendengarkan pidato menteri dalam
negeri, yang pada kesempatan itu, menteri dalam negeri menghimbau “sampai titik
darah penghabisan dan muntahan peluru terakhir”. Himbauan menteri membuat semangat
nasionalisme dan patriotisme masyarakat Islam maupun Kristen tersulut (2003c:12-13)
Hanafi merasa begitu sedih
dan terpukul ketika terjadi insiden Kairo lautan api bulan Januari 1952. Para tentara
turun jalan, kabinet Wafd pun mundur. Walaupun KKN merebak, tetap
saja tidak ada reaksi yang berarti dari masyarakat. Pada suatu hari, ketika Hanafi
sedang mengikuti orientasi mata pelajaran filsafat. Tank-tank tentara turun ke jalan, membuat
masyarakat bingung. Pada hari itu, tentara bergerak untuk mengambil alih
pemerintahan dan mengkudeta Istana. Kudeta inilah yang memaksa Raja untuk
hengkang dari istana. Tepatnya pada pukul 18.00 tanggal 26 juli 1952. Revolusi Juli inilah yang menjadi batu
pijakan kesadaran nasionalisme Hasan Hanafi (Hanafi, 2003c:13-14)
Hanafi sudah banyak mendengar
tentang Ikhwanul Muslimin sejak masih SMA (Lenczowski, 1992:298). Sosok Hasan Al-Banna
yang dikenal sebagai “tentara di siang hari dan pendeta di malam hari” juga
sudah terdengar di telinganya. Tetapi Hanafi baru bergabung dengan Ikhwanul
Muslimin setelah Revolusi Mesir tahun 1952. Tokoh-tokoh ikhwanul Muslimin
seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Qadir Audah, Sa’id Ramadan, Alal Al-Fasi,
Hasan Al-Asymawi, Abdul Hakim ‘Abidin, (2003c:20) maupun tokoh revolusioner Islam
dan barat seperti Muhammad Iqbal (2003c;24), Edmund Husserl (2003c:32), Descartes
(2003c:36). Inilah yang selanjutnya banyak memberi pengaruh pada cara berfikir Hanafi.
b.
Karir
Intelektual Dan Akademik.
Hasan Hanafi adalah ilmuan
yang menghabiskan sebagian besar umurnya hanya uuntuk belajar dan berkarya. Beliau
menyumbangkan ide-ide brilian untuk revolusi umat Islam. Dari sekolah dasar
sampai sarjana dia habiskan di Mesir. Barulah dia melanjutkan pendidikannya ke
Perancis sampai mendapatkan gelar Doktor di Sorbone. Dia tinggal dan belajar di
Perancis selama sepuluh tahun. Tetapi semangatnya untuk menyumbangkan pemikiran
untuk Islam tidak pernah redup.
Hasan Hanafi mulai belajar
Al-Quran sejak usia lima tahun. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar
di madrasah Sulaiman Gawiys selama lima tahun. Setelah itu, dia melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (Tarbiyatul Mu’allimi>n).
Tetapi menjelang kenaikan kelas lima, dia transfer ke madrasah Al-Ailahdar. Ia menamatkan sekolah menengahnya di madrasah
Tsanawiyah Khalil Agha. Dengan melewati empat tahun pada jurusan Kebudayaan dan
satu tahun di jurusan Pendidikan (Wasid, Dkk. 2011:23-24). Di sekolah inilah Hanafi
mulai berkenalan dengan pemikiran dan aktivitas Ikhwanul Muslimin. Pemikiran-pemikiran
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb yang
kemudian banyak mempengaruhi pemikiran dan menginspirasi tindakannya. Dia baru
masuk menjadi anggota Ikhwanul Muslimin pada tahun 1952, dan tetap eksis dalam gerakan Ikhwanul Muslimin,
walaupun telah duduk di bangku Universitas. Sampai pada akhirnya gerakan ini
berbenturan dengan pemerintah Mesir sehingga menjadi gerakan bawah tanah dan
terlarang (Saenong. 2002:70).
Setelah
menyelesaikan sekolah menengahnya, dia masuk ke Universitas Kairo Mesir.
Kemudian mendapatkan gelar Sarjana dalam bidang filsafat pada tahun 1956 (Saenong, 2002:69).
Sejak kuliah di Universitas Kairo,
Hanafi sudah sering mengalami pergolakan pikiran. Dia sering membaca karya-karyanya
Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Hasan An-Nadawi, Syekh Muhammad Al-Gazali,
dan pemikir-pemikir besar Islam lainnya. Dari sinilah Hanafi mulai tergugah dan
dapat merasakan semangat kebangkitan Islam. Dengan membaca pemikiran dari
tokoh-tokoh pergerakan Islam ini, Hanafi mulai memahami makna dari keberadaan
diri, hidup, realitas, tanah air, masa depan dan apa-apa yang ia lakukan (Hanafi,
2003:22).
Ketika mengikuti kuliah tentang
Akal Sepuluh, Akal Fa’al dan akal Mutafa’il, zat dan sifat,
kosmologi Ibnu Sina. Hasan Hanafi merasa dirinya asing terhadap materi warisan Islam
klasik ini. Ini terjadi karena pemikiran Hanafi lebih tertarik pada model kaum
modernis. Dia mulai mencari isu-isu Islam di kampus kemudian menjauhi filsafat
dan ilmu Kalam, karena dalam anggapannya saat itu, ilmu-ilmu itu hanya seputar
teori serta tidak menyentuh keadaan real dalam kehidupan praktis (2003c:22).
Pada tahun ketiga, Hanafi
termasuk dalam mahasiswa yang mendapat predikat summa cum laude. Dia
mulai memasukkan pendapat-pendapat pribadi dalam makalah-makalah ilmiahnya. Hal
inilah yang Hanafi lakukan dalam menulis sebuah makalah yang mendapat nilai
penuh tentang “Teori Pengetahuan Dan Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali”. Dalam makalah
ini, Hanafi mengkritisi sikap para sufi dengan gerakan pengucilan diri dari
kehidupan sosial. Pengucilan diri ini adalah reaksi pasif atas merebaknya
hedonisme dan kebobrokan sosial pada masa-masa awal dinasti Umawiyyah. Yang menurut Hanafi, pengucilan diri dari
realitas sosial ini harus segera diakhiri, kemudian secepatnya mengambil alih
kendali dunia dan menyelamatkan diri dari kehancuran (2003c:23).
Dalam pengakuannya, Hanafi
baru bisa merasakan cita rasa filosofis Al-Quran, urgensi dunia intuitif, panca
indera serta pentingnya perjuangan yang konsisten ketika membaca Al-Quran di
masjid Umar Makam. Ketika itu, Hanafi sedang mendapat masalah psikologis karena
Ikhwanul Muslimin dalam tekanan, krisis dunia kampus serta kegagalannya mencapai
predikat summa cum laude (2003c:27).
Pada masa-masa akhir studinya
di Universitas Kairo Mesir, Hanafi merasa tidak mendapatkan apa-apa dari
Universitas. Yang ada hanya sikap reaksioner atau krisis studi-studi keislaman.
Dia merasakan perbedaan, antara apa yang didapatkannya dari kampus dengan apa
yang dibacanya dari buku (http://www.answers.com/topic/hassan-hanafi). Dia lebih banyak menghabiskan buku-buku karya
Iqbal dan Jamaluddin Al-Afghani. Dia merasa tidak ada waktu lagi untuk main
musik. Dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku karya Muhammad Iqbal Reconstruction
of Islamic Thought. Dia merasa harus secepatnya meninggalkan Mesir. Rasa cinta
terhadap pengetahuan memenuhi sanubarinya. Oleh karena itu, Prancis dianggap
tempat yang paling tepat untuk melampiaskan kehausan intelektualnya, terutama dalam
studi pemikiran Islam (2003c:29).
Gagasan-gagasan Hanafi
tentang metodologi Islam, seni dan ummat Islam mendapat pengakuan
Internasional, baik dari segi orisinlitas maupun kritik-kritiknya terhadap
Barat. Gagasan-gagasan ini lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, karena Sayyid Qutb
meninggalkan pengaruh yang sangat besar kepada diri Hanafi. Bukan hanya ketika
ia masih kuliah di Mesir sebelum ke Prancis. Bahkan setelah dewasa pun, Hanafi masih
tetap terpesona dengan gagasan-gagasan Sayyid Qutb. Hal ini terbukti dari
pernyataannya “Jikalau Sayyid Qutb masih hidup waktu itu, saya pasti akan
menjadi murid terbaiknya, dan jika dakwah Ihhwanul Muslimin berlanjut, niscaya
saya akan menjadi pemikir dan konseptornya” (2003:28-29).
Hanafi akhirnya meninggalkan Mesir
dan berangkat ke Prancis kemudian masuk di Universitas Sorbone ketika berusia
dua puluh satu tahun (Saenong, 2002:70). Dia berangkat dari Mesir tanggal 11
Oktober 1956 dan tiba di Marseille pada 17 Oktober 1956. Dalam perjalanannya, Hanafi
tidak membawa apa-apa. Kecuali hanya sedikit makanan, susu dan sebungkus roti
kering yang dia dapatkan dari yayasan sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang membagikan sembako di sekolah-sekolah. Uang saku yang dia bawa hanya 10
pound Mesir (Hanafi, 2003c:28).
Dua tahun awal di Prancis, Hanafi
membagi waktunya menjadi dua. Sebagiannya dihabiskan untuk mengkaji filsafat
dan sebagiannya lagi untuk belajar musik dan seni. Hobinya pada musik tertanam
sejak kecil. Keberadaannya di Prancis tidak dia sia-siakan. Di Prancis, dia
masuk Akademi Musik. Pagi hari Hanafi harus masuk Institut Musik, siang
harinya masuk kuliah dan malam harinya
dipergunakan untuk membaca atau bermain musik. Kegiatan ini terpaksa ia akhiri
karena kelumpuhan yang diakibatkan oleh kekurangan gizi serta kegiatan yang
terlalu padat. Kelumpuhan ini juga yang memaksa Hanafi harus dirawat di rumah sakit. Ketika dalam perawatan, dokter
menyarankan Hanafi untuk mengurangi aktivitasnya. Ini artinya dia harus memilih
salah satu dari kesibukannya dan harus meninggalkan yang lain. Ini adalah
pilihan yang berat bagi Hanafi, antara memilih musik sebagai estetika yang
minus pikir atau filsafat yang minus estetika. Hanafi kemudian memilih
filsafat. Dia baru yakin dengan pilihannya beberapa saat setelah Hanafi
menemukan perpaduan antara filsafat dan romantisme Hegel, Fichte, Schelling,
Kierkegaad dan Henri Bergson (2003c:48).
Hanafi sangat antusias dalam
mempelajari filsafat dari awal hingga akhir, khususnya pada tokoh-tokoh penolak
seperti Spinoza dan Kierkegaard. Dia kemudian menemukan genealogi filsafat setelah
membaca pemikiran filsafat dari mazhab Eropa (2003c:44).
Ketika belajar di Prancis, Hanafi
banyak bersentuhan dengan berbagai pemikiran dan pendirian metodologis
(Saenong, 2011:72). Karena sentuhan berbagai pemikiran ini, akhirnya Hanafi
berusaha untuk mereformulasikan Islam sebagai metode yang universal dan
komprehensif dalam kehidupan individual maupun masyarakat. Di sinilah awal mula
kesadaran filosofis Hanafi. Ketika itu, dia baru mulai menulis proposal disertasinya.
Hanafi mengusulkan pemikirannya di atas, tetapi promotornya menolak proposal Hanafi.
Karena menurut promotornya, pembahasan Hanafi kurang fokus dan masih terlalu
umum. Seharusnya Hanafi memfokuskan pada tokoh sejarah tertentu, mazhab fiqh
atau sekte-sekte tertentu dalam teologi Islam (Hanafi, 2003c:32).
Sepuluh
tahun berjalan (1956-1966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari Universitas
Sorbone Prancis (Saenong, 2002:69), dalam meraih gelar Doktoral ini, Hanafi
menulis disertasi setebal Sembilan ratus halaman “Essai sur la method
d’Exegese”, tentang Ushul Fiqh. Pada tahun 1961, disertasi ini mendapat
penghargaan karya ilmiah terbaik di Mesir. Setelah meraih gelar Doktoralnya, Hanafi
kembali ke Tanah Airnya. Kemudian menjadi dosen Filsafat Kristen di almamaternya (http://www.slideshare.net/ChionkPemimpin/otentisitas-wahyu-tuhan-dalam-hermeneutika-hasan-hanafi). Dia menjadi staf pengajar pada fakultas sastra Universitas
Kairo Mesir sampai tahun 1971 (Wasid. Dkk, 2011:23).
Hanafi mendapatkan gelar Guru
Besar Luar Biasa (Visiting Professor) dari beberapa perguruan tinggi. Pencapaian
ini Hanafi dapatkan karena reputasinya sebagai pemikir Islam terkemuka. Dia
pernah menjadi Visiting Professor di Belgia (1970), Amerika Serikat
(1971-1975), Kuwait (1978), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat
Arab (1985). Pada tahun 1985-1987 dia menjabat sebagai penasehat pengajaran di Universitas
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo Jepang (Saenong, 2002:70).
Pada bulan September
1971-1975, Hanafi meninggalkan Mesir untuk menjadi dosen tamu di Amerika
Serikat. Di sini, dia mulai akrab dengan ide-ide agama revolusioner. Karena
selama ini jalan pikiran Hanafi sudah mengarah ke sana. Tidak heran jika
setelah di Amerika Serikat, Hanafi langsung bergelut membaca “Teologi Revolusi,
Teologi Pembebasan, Teologi Progresif, Teologi Sekuler, Teologi Politik,
Teologi Kematian Tuhan, Teologi
Penderitaan dan lain-lain. Beberapa literatur ini memang pernah dia baca
sebelumnya ketika menjadi dosen tamu di Belgia (1970). Dengan menghabiskan
seluruh karya Camilio Tores, dia kemudian menulis sebuah kajian bejudul
“Camilio Torres: Sosok Pendeta
Revolusioner”. Dalam karya ini, Hanafi menganalisis karya Torres kemudian
menegaskan revolusi sebagai perintah Yesus, meletakkan dasar-dasar ilmu
sosiologi nasional, analisis kelas, perencanaan, anarkisme, perubahan sosial
budaya, kesadaran kelas, agama dan revolusi, serta persatuan kekuatan
revolusioner (Hanafi, 2003c:64-66).
Pada tahun 1982-1984 Hasan Hanafi
meninggalkan Mesir untuk menjadi dosen di Maroko. Ini adalah kali kedua Hanafi
menginjakkan kakinya di Maroko. Pertama kali dia ke Maroko sepuluh tahun
sebelumnya, yaitu pada tahun 1972. Ketika itu, Hanafi datang sebagai pembicara
dalam sebuah seminar yang bertema Nahnu Wa At-Tanwi>r (Kita dan
Pencerahan). Seminar ini diadakan oleh Lembaga Filsafat Maroko. Hanafi merasakan
Maroko bagaikan di kampung halamannya. Selain karena Hanafi masih berdarah
Maroko, juga karena suasana akademik di Negara itu sangat kondusif. Filsafat
dan pemikiran menjadi ciri khas mahasiswa. Bahkan, sejak masih di sekolah
menengah, para siswa sudah diajarkan filsafat, sudah memiliki penguasaan
sinergi antara ilmu, bahasa dan budaya, sehingga ketika masuk universitas
mereka sudah siap terjun ke politik praktis (2003c:83-85).
Pada tanggal 30 Juni 1984 Hanafi
di deportasi dari Maroko. Deportasi ini dijatuhkan pemerintah Maroko kepada Hanafi
karena pernyataannya ketika menjadi pembicara dalam sebuah Studium General
bertajuk “Sistem Pemerintahan Dalam Islam” yang dilaksanakan oleh Hizb
Asy-Syu>ra Wa Al-Istiqla>l (Partai Permusyawaratan dan Kemerdekaan),
sebuah partai oposisi terkemuka di Maroko. Pada kesempatan itu, Hanafi
mengatakan “Imamah merupakan akad, bay’ah, dan pilihan. Saya tegaskan
juga bahwa ketaatan pada makhluk untuk bermaksiat itu tidak boleh. Seorang
penguasa adalah orang yang paling terakhir makan dan minum, orang yang paling
sederhana pakaian dan tempat tinggalnya. Dalam Islam, tidak boleh mencium
tangan, pundak atau kaki penguasa” (2003c:87). Sebenarnya kalau Hanafi mau
untuk sedikit mengalah dan meminta maaf, maka pemerintah akan membebaskannya. Tetapi
sebagai seorang intelektual dan ulama’ ummat, dia tidak mau menarik kata-kata
yang dia yakini sebagai kebenaran tersebut. Hanafi mengatakan:
Saya bukanlah manusia
semi-intelektual dan semi-warga negara. Saya tidak pernah melakukan penjajahan,
dan itulah yang membedakan di antara kita.
Tanah air sebenarnya membentang dari teluk hingga laut Tengah, dari
ujung barat hingga ujung timur. Sebagai seorang intelektual umat, dan salah
seorang ulamanya, saya menentang segala bentuk suap dalam kementrian di pusat
(2003c:88).
Pada bulan Oktober 1984 Hanafi
mendapat undangan menjadi dosen tamu dari Tokyo Jepang, Hanafi dan keluarga
baru bisa berangkat pada akhir Agustus 1984, dia harus menunda keberangkatannya
karena ujian di Maroko diadakan pada bulan Juni dan keinginannya untuk bisa pulang
ke Mesir pada musim panas. Ini adalah kedatangannya di Jepang untuk kali kedua.
Sebelumnya dia pernah ke negeri Sakura pada bulan Desember 1982 hingga awal
Januari 1983. Pada kesempatan pertama ini, dia datang untuk menghadiri undangan
Seminar Internasional di Universitas Tsukuba. Dalam kesempatan ini, dia
berkapasitas sebagai pembicara dalam diskusi tentang krisis nilai. Hanafi
didaulat menjadi pembicara dari perspektif Islam dari Universitas PBB. Hanafi
menyampaikan makalah dengan judul; Value Crisis and Islamic Respons (Krisis
Nilai dan Respons Islam) (Hanafi, 2003c:90-91).
Keberadaannya di Jepang dia
pergunakan sebaik mungkin untuk mengenal Timur, agar pengetahuannya tidak
timpang hanya sebatas mengenal barat. Dia terobsesi untuk menyeimbangkan
kesadarannya akan Dunia Barat dan Timur. (2003c:91). Hanafi tinggal di Jepang
hanya satu semester, dan setelah itu, dia kembali ke dunia Arab, Setelah
menolak tawaran menjadi dosen di Universitas PBB (2003c:93).
Sepulang dari Jepang pada
musim semi 1984, Hanafi terbang ke Uni Emirat Arab sebagai dosen tamu di
Universitas Uni Emirat Arab. Hanafi tinggal di negara ini selama satu semester
(2003c:93). Selanjutnya dia di tarik lagi ke Jepang sebagai konselor bidang
keilmuan pada Universitas PBB 1985-1987. Di sini Hanafi sering berinteraksi dengan ilmuan dari berbagai
Negara. Berlatih menggunakan istilah-istilah humaniora dan tahu tentang barometer
kekuatan dunia. Dia juga sempat mengetuai proyek “Pandangan Agama-Agama Dan
Sekte-Sekte Etik Tentang Masyarakat
Ideal”. Hal inilah yang kemudian dia terapkan pada Islam, Kristen, Buddisme dan
Hindu (2003c:95).
Sepulangnya dari Jepang, Hanafi
berkonsentrasi pada pembentuk- an para pemikir dan peneliti muda. Dengan
pertimbangan proyek At-tura>s Wa At-Tajdi>d akan jauh lebih
efektif dan efisien jika dikerjakan secara kelompok daripada sendiri. Dia juga
fokus untuk mendirikan “Lembaga Filsafat Mesir” dan “Pusat Studi Filsafat”. Ini
dimaksudkan untuk melahirkan peneliti-peneliti yang kapabel dan mempunyai visi
murni untuk penelitian ilmiah (2003c:102).
C. Karya-Karya Hasan Hanafi
Produktivitas Hanan Hanafi dalam
melahirkan karya sangat besar, sehingga dia dapat dikategorikan ke dalam Ilmuan
Islam kontemporer yang paling produktif. Hampir semua karya-karyanya ditujukan
untuk pembaharuan tradisi dan kebangkitan Islam (Wasid Dkk, 2011:23).
Di antara karya-karya Hanafi
yang paling membuatnya popular adalah Jurnal “Al-Yasa>r Al-Isla>mi>”
(Ridwan, 1998:44) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“Kiri Islam”. Kiri Islam terbit setelah kemenangan Revolusi Islam Iran 1979
(Shimogaki, 2011:9). Jurnal ini hanya sempat terbit pada bulan Januari 1981 di
Kairo Mesir, merupakan salah satu karya fenomenal Hasan Hanafi. Melalui jurnal
ini, Hanafi menghembuskan ide “Kiri Islam” (2011:v). Karya ini lebih mirip
manifesto partai yang gereget intelektual dan aktivisme-nya sangat mungkin membangun gerakan-gerakan yang
pro terhadap demokrasi di kalangan aktivis Indonesia (Hanafi, 2003b:v). Kiri Islam
menyerukan untuk melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan,
keadilan sosial, persatuan kaum muslimin ke
dalam blok Islam. Kiri Islam adalah kelanjutan dari Al-Urwah
al-Wustqa dan Al-Mana>r. Jurnal ini muncul di tengah kekosongan
setelah krisis dan distorsi yang dialami oleh agenda Al-Afgani (Shimogaki,
2011:109).
Di antara karyanya yang lain
adalah At-Tura>s Wa At-Tajdi<d “Warisan Klasik dan Pembaharuan”.
Karya ini terinspirasi dari salah seorang profesor yang baru datang dari Prancis
yang memperkenalkannya dengan filsafat idealisme Jerman, terutama Fichte yang berisi
filsafat perlawanan, gagasan Ego, konsep “saling sugesti” (alternate
suggestion) antara obyek dan subyek, serta konsep intentional (keterarahan)
Edmund Husserl (Hanafi, 2003:c).
Ketika menjadi dosen Filsafat
Kristen 1966-1967, Hanafi menulis sebuah buku berjudul Nama>dzi>j Min
Al-Falsafah Al-Masyi<hiyah Fi Al-Ashr Al-Wasith: Al-Mu’allim Li Aghustin,
Al-Imam Bahits ‘An Al-‘Aql La Tasli>m, Al-Wuju>d Wa Al-Mahiyah Li Yuma
Al-Akwi>ni (Beberapa Contoh Filsafat Kristen Abad Pertengahan: Ajaran
Agustine, Kepercayaan Butuh Penalaran, Bukan Penerimaan: Bentuk Dan Esensi
Menurut Thomas Aquinas). Buku ini dia tulis dalam mengatasi kesulitan dalam
memperoleh referensi mata kuliah Filsafat Kristen (Saenong, 2002:73).
Untuk merombak ilmu klasik
dalam Islam, terutama ilmu kalam, serta membela kaum muslimin yang terbelakang,
kemudian mengajak mereka untuk merenungkan bagaimana menyikapai tradisi lama,
dia menulis Min Al-Akidah Ila Al-Sawrah; Al-Muqaddimah Al-Naz}ariyah
diterjemahkan menjadi “Dari Akidah ke Revolusi”. Dalam karya ini, Hanafi
menempatkan pemikirannya di hadapan warisan pemikiran klasik. Di sini, dia
banyak merekonstruksi bangunan akidah klasik, di mana pemikiran akidah klasik meletakkan dasar teologi atas nama Tuhan. Sedangkan
Hanafi melakukannya atas nama ummat dan
tanah mereka yang dirampas. Dalam buku ini, dia memberikan pembelaan
terhadap hasil ijtihad ummat dengan landasan persamaan, di mana pembelaan
seperti ini tidak diberikan oleh para mutakallimu>n klasik yang hanya
sibuk membela aliran Akidah tertentu. Hanafi ingin menjelaskan posisi umat yang
tertindas, di mana mutakallimu>n klasik hanya memfokuskan pemikiran
mereka untuk menjelaskan sejarah Tuhan dan membela posisi penguasa. Pada
intinya, dalam buku ini, Hanafi menawarkan konsep akidah baru, yang dia klaim
sebagai ilmu akidah yang populis dan merubah warisan masa lalu yang elitis (Hanafi,
2003a:388).
Dalam membedah dan membuka
topengketidak jujuran Barat serta sebagai jawaban atas Orientalisme, Hassan Hanafi
menulis Muqaddimah Fi> ‘Ilm Al-Istigra>b. Karya ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Oksidentalisme; Sikap
Kita Terhadap Tradisi Lama”. Dari karyanya ini Hanafi berhasil mengungkapkan
konspirasi rasial dan ideologis bertameng akademis yang menempatkan Timur
sebagai bangsa yang terbelakang dan tidak berperadaban. Sebaliknya, barat
adalah bangsa yang superior, maju, berperadaban dan jauh lebih berhak memimpin
dunia (2001:ix-x). Hasan Hanafi mengatakan bahwa “Oksidentalisme sesungguhnya
bukan lawan Orientalisme, melainkan hubungan dialektik yang saling mengisi dan
melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari
relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur” (2000;xix-xx).
Dalam menceritakan
perkembangan dan pergolakan pemikirannya, Hassan Hanafi menulis sebuah buku
yang memuat autobiografinya. Buku ini berjudul Al-Ushu>liyah al-Isla>miyah
yang dalam fersi terjemahan diberi judul “Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam”
(2003c:v). Dalam biografinya, Hanafi menlis pengalaman pribadinya dalam
menyikapi rezim revolusi sebagai bagian dari fundamntalisme Islam. Di sini, dia
menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya? Ikhwaniskah, Komuniskah, atau
Ikhwanis-Komuniskah? (Hanafi, 2003c:4).
Dalam menunjukkan semangat
penjelajahan dalam membangun pemahaman baru atas tradisi Islam, Hanafi menulis
karya yang berjudul Humu>m Al-Fikr Al-Watan; At-Tura>ts Wa Al-Asr Wa
Al-Handasah yang dalam fersi Indonesianya diberi judul “Oposisi Pasca
Tradisi”. Dalam buku ini, Hanafi menginstruksikan bahaya manipulasi tradisi
untuk kepentingan hegemoni kekuasaan, sekaligus menawarkan solusi yang menjadi
jalan keluar dari masalah ini dengan mempersenjatai kaum muda dengan analisis
yang tajam mengenai The Other “Yang
Lain” (Hanafi, 2003b:vii).
Karyanya yang berjudul Dira>sat
Isla>miyah terbagi menjadi lima bab yang dalam fersi Indonesianya
diterbitkan menjadi tiga jilid. Buku ini diberi judul “Islamologi I; Dari
Teologi Statis ke Anarkis (Dira>sat Isla>miyah, Bab I-II), Islamologi
II; Dari Rasionalisme ke Empirisme (Dira>sat Isla>miyah, Bab III-IV),
dan Islamologi III; Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme (Dira>sat Isla>miyah,
Bab V)”. Dalam Islamologi I, Hanafi menunjukkan bahwa semangat
revolusioner, pembebasan, dan pemerdekaan lahir dari rahim ideologi anarkisme.
Pada Islamologi II, Hanafi memfokuskan kajiannya pada wilayah filsafat dan
tasawuf. Dia mengatakan bahwa generasi Islam kontemporer harus menggerakkan
tradisi secara mutualistik. Karena menurutnya, tradisi adalah elemen kritis yang
menemukan titik pijakan di setiap generasi. Supaya kita mendapatkan asupan
semangat pembumian dan nasionalisme, karena tradisi memiliki sifat dinamis
interpretatif. Sedangkan dalam Islamologi III, Hanafi menunjukkan semangat
pergerakan, dimana sebelumnya, pemikiran umat Islam didominasi oleh peradaban
yang hanya terpusat pada Tuhan (teosentrisme) harus beralih menuju
peradaban yang berpusat pada manusia (Antroposentrisme) (Hanafi,
2004,vi).
Selain karya di atas, masih
banyak lagi karya Hanafi. Diantaranya, tiga buah karya kesarjanaan nya di
Sorbone: Les Metodes D’exegese, Essai
Sur La Science Des Fondaments De La Comprehension, Ilm Ushul Al-Fiqh (1965),
L’exegese De La Phenomenologie L’etat Actual De La Method Phenomenologique
Et Son Application Un Ph’enomene Religiux (1965), dan La Phenomenologie
D L’exegese: Essai D’une Hermeneutique Existentielle A Parti Du Nouvea
Testanment (1996). Ketiga karya ini ditulis dalam bahasa Prancis. Di antara
karyanya yang lain adalah: Religious Dialog And Revolution (1977), Qad}a>ya
Mu’a>shirah Fi< Fikrina> Al-Mu’a>shir dua jilid (1983), Dira>sat
Falsafiah (1988), Al-Di<n Wa Al-Tsaurah Fi Mis}hra 1956-1981
delapan jilid (1989), Hiwa>r Al-Masyriq Wa Al-Magrhrib (1990), Masyriq;
Islam In The Modern World. Dua jilid (1995), Humu>m Al-Fikr Wa
Al-Wathan dua jilid (1997), Jala>luddi>n Al-Afga>ni (1997),
Hiwa>r Al-Ajya>l (1998). Selain kary-karya di atas, Hanafi juga
banyak menulis karya berbentuk terjemahan dan suntingan. Di antaranya adalah: Muhammad
Abu Husain Al-Bahri: Al-Mu’tamad Fi ‘Ilm Ushu>l Fiqh dua jilid (1965), Al-Huku>mah
Al-Isla>miyah Li Al-Ima>m Al-Khomeini (1980), Jiha>d An-Nafs Aw
Jiha>d Al-Akbar Li Al-Ima>m Al-Khomeini (1980). Adapun dari wilayah
filsafat barat Hanafi menulis: Namu>dzzij Min Al-Falsafah Al-Mashihiyah
Fi> Al-Ashr Al-Wasith: Al-Mu’allim Li> Agustin, Al-Ima>m Bahits’an
Al-Aql La> Tasli>m, Al-Wuju>d Wa Al-Mahiyah Li> Tuma Al-Akwini (1968)
Spinoza; Risa>lah Fi> Al-Lahu>t Wa As-Asiya>sah (1973), Lessing;
Tarbiah Fi> Al-Jins Al-Basyari Wa A’mal Ukhra (1977), Jean-Paul
Satre; Ta’ali Al-Ana Al-Mauju>d (1978), (Saenong, 80-83).
Jika kita melihat karya-karyanya
yang memiliki kualitas yang tidak bisa diragukan serta mempunyai kuantitas yang
begitu besar, terasa sekali bagaimana keinginannya untuk mensosialisasikan
gagasannya tentang “Tradisi dan Modernitas”.
Daftar Pustaka Sementara:
Nasution, Harun. 2007. Teologi Islam Aliran- Aliran Sejarah
Analisis Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Bakker, Anton. Dan Charis, Zubair Achmad. 1990. Metodologi
Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Pusraka Filsafat.
Zarkasyi, Imam. 1994. Usuluddin (‘Aqa’id). Gontor Ponorogo:
Trimurti Press.
Hanafi, Hasan. 2003a. Dari Akidah ke Revolusi sikap kita
terhadap tradisi lama. Jakarta: Paramadina.
Hanafi, Hasan. 2000. Oksidentalisme Sikap Kita Terhaadap Tradisi
Barat. Jakarta: Paramadina.
Al Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim. 2003. Al-Milal wa
Al-Mihal “Aliran-aliran Teologi Dalam sejarah Ummat Islam”. Surabaya: Bina
Ilmu.
Simogakhi, Kazuo. 2011. Kiri Islam, Antara Modernisasi dan
Posmomdernisasi Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta: LKis.
Rusli, Muhammad. 2010. Pedoman Praktis Pembuatan Proposal Dan
Laporan Penelitian Lapangan (pendekatan kuantitatif, kualitatif dan pustaka). Prenduan:
LP3M..
Manaf, Abdurrahman. 1942. Kitabussaadah fittauhidil ilahi.
Jakarta: Maktabah sa’adiah putra.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Mustafa. 2010. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Thahar, Asmuni. 2003. Pemikiran Akidah Humanitarian Hasan
Hanafi. Sekripsi di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
Casino site - Lucky Club
BalasHapusCasino site. Live Casino is available and operated by Lottoland. They operate under the Lotto luckyclub Group Limited, which have the following license Rating: 3.5 · Review by Lucky Club